Jumat, 22 Maret 2013

Terapi Berpusat Pada Klien (Client-Centered Therapy)


Terapi yang berpusat pada klien (client-centered) sering pula disebut sebagai terapi teori diri (self theory), terapi non-direktif, dan terapi Rogerian. Carl R. Roger dipandang sebagai pelopor dan tokoh terapi ini. Menurut Roger konseling dan psikoterapi tidak mempunyai perbedaan.
1.                  Konsep Pokok
Pendekatan terapi “client-centered” atau yang berpusat pada klien menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan. Menurut Roger konstruk inti terapi berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri. Dikatakan bahwa konsep diri atau struktur diri dapat dipandanag sebagai konfigurasi persepsi yang terorganisasikan tentang diri yang membawa kesadaran. Hal itu terdiri dari atas unsur-unsur persepsi terhadap karakteristik dan kecakapan seseorang, pengamatan dan konsep diri dalam hubungan dengan orang lain dan lingkungan, kualitas nilai yang dipandang sebagai pertautan dengan pengalaman dan obyek, dan tujuan serta cita-cita yang dipandang mempunyai kekuatan positif dan negatif. Diri (self) merupakan atribut yang dipelajari yang membentuk gambaran diri individu sendiri.
Dalam hubungannya dengan konsep aktualisasi diri, Roger mendefinisikan kecendrungan mewujud sebagai satu kecenderungan yang melekat dalam organisme untuk mengembangkan kapasitasnya dalam cara-cara yang dapat menjamin untuk memelihara atau meningkatkan organisme. Dengan aktualisasi diri berarti bahwa manusia terdorong oleh dorongan pokok yaitu mengembangkan diri dan mewujudkan potensinya.
Orang yang dikatakan sehat adalah yang dirinya dapat berkembang penuh (the fully functioning self), dan dapat mengalami proses hidupnya tanpa hambatan. Individu terdorong untuk menjadi dirinya sendiri. Adapun individu yang mencapai “fully functioning” ditandai dengan (1) terbuka pada pengalaman, (2) menghidupi setiap peristiwa secara penuh, dan (3) mempercayai pertimbangan dan pemilihan sendiri.
            2.                  Proses Terapi
Terapi yang berpusat pada klien memusatkan pada pengalaman individual. Dalam proses disorganisasi dan reorgnisasi diri, terapi berupaya untuk meminimalkan rasa diri terancam dan memaksimalkan serta menopang eksplorasi diri. Perubahan dalam perilaku datang melalui pemanfaatan potensi individu untuk menilai perasaan yang mengarah kepada pertumbuhan. Melalui penerimaan terhadap klien, terapis membantunya untuk menyatakan, mengkaji, dan memadukan, pengalaman-pengalaman sebelumnya ke dalam konsep diri. Dengan redifinisi, pengalaman, individu mencapai penerimaan dari dan menerima orang lain dan menjadi orang yang lebih berkembang penuh.
Tujuan terapi adalah menciptakan suasana yang kondusif bagi klien untuk mengeksplorasi diri sehingga dapat mengenal hambatan pertumbuhannya dan dapat mengalami aspek dari sebelumnya terganggu. Di samping itu terapi bertujuan membantu klien agar dapat bergerak ke arah keterbukaan, kepercayaan yang lebih besar kepada dirinya, keinginan untuk menjadi pribadi, dan meningkatkan spontanitas hidup. Klien dikatakan sudah sembuh apabila: (1) kepribadiannya terintegrasi, dan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya atas tanggung jawab diri, memiliki gambaran diri yang serasi dengan pengalaman sendiri, (2) mempunyai tilikan diri, dalam arti memandang fakta yang lama dengan pandangan baru, (3) mengenal dan menerima diri sendiri sebagaimana adanya dengan segala kekurangan dan kelebihan, (4) dapat memilih dan menentukan tujuan hidup atas tanggung jawab sendiri.
           3.                  Kritik dan kontribusi
           Beberapa kritik terhadap konseling berpusat pada klien antara lain:
a.       Terlalu menekankan pada aspek afektif, emosional, perasaan sebagai penentu perilaku, tetapi melupakan faktor intelektif, kognitif, dan rasional.
b.      Penggunaan informasi untuk membantu klien, tidak sesuai dengan teori.
c.       Tujuan untuk setiap klien yaitu memaksimalkan diri, dirasa terlalu luas, umum dan longgar sehingga sulit untuk menilai setiap individu.
d.      Tujuan ditetapkan oleh klien, tetapi tujuan terapi kadang-kadang dibuat tergantung lokasi terapis dan klien.
e.       Meskipun terbukti bahwa terapi client-centered diakui efektif tetapi bukti-bukti tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil tanggung jawabnya.
f.        Sulit bagi terapis untuk benar-benar bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal.
Kontribusi yang diberikan antara lain, dalam hal:
a.         Pemusatan pada klien dan bukan pada terapis dalam proses terapi.
b.         Identifikasi dan penekanan hubungan terapi sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian.
c.         Lebih menekankan pada sikap terapis daripada teknik.
d.        Memberikan kemungkinan untuk melakukan penelitian dan penemuan kuantitatif.
e.         Penekanan emosi, perasaan dan afektif dalam proses terapi.

Sumber:
Surya, Prof. DR. H. Mohamad. (2003). Teori-teori Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Terapi Humanistik Eksistensial


Istilah psikologi humanistik (Humanistic Psychology) diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Abraham Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow menyebut psikologi humanistik sebagai “kekuatan ketiga” (a third force).
A.      Konsep Utama  
1.    Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Kesadaran diri membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain. Pada hakikatnya semakin tinggi kesadaran seseorang, semakin ia hidup sebagai pribadi. Meningkatkan kesadaran berarti meningkatkan kesanggupan seseorang untuk mengalami hidup secara penuh sebagai manusia. Peningkatan kesadaran diri yang mencakup kesadaran atas alternatif-alternatif, motivasi-motivasi, faktor-faktor yang membentuk pribadi, dan atas tujuan-tujuan pribadi, adalah tujuan segenap terapi. Kesadaran diri banyak terdapat pada akar kesanggupan manusia, maka putusan untuk meningkatkan kesadaran diri adalah fundamental bagi pertumbuhan manusia.
2.    Kebebasan tanggung jawab dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tangung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar bagi manusia. Kecemasan adalah suatu karakteristik dasar manusia yang mana merupakan sesuatu yang patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga motivasional yang kuat untuk pertumbuhan kepribadian.
3.    Penciptaan makna
Manusia itu unik, dalam arti bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Manusia pada dasarnya selalu dalam pencarian makna dan identitas diri. Manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah mahluk yang rasional.
B.       Dalil-Dalil Humanistik Eksistensial
            1.    Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari diri yang menjadikan dirinya mampu melampaui situasi sekarang dan membentuk basis bagi aktivitas-aktivitas berpikir dan memilih yang khas manusia. Kesadaran diri itu membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Manusia bisa tampil di luar diri dan berefleksi atas keberadaannya. Pada hakikatnya, semakin tinggi kesadaran diri seseorang, maka ia semakin hidup sebagai pribadi yang utuh. Tanggung jawab berlandaskan kesanggupan untuk sadar. Dengan kesadaran, seseorang bisa menjadi sadar atas tanggung jawabnya untuk memilih.
Peningkatan kesadaran diri yang mencakup kesadaran atas alternatif-alternatif, motivasi-motivasi, faktor-faktor yang membentuk pribadi dan atas tujuan-tujuan pribadi adalah tujuan terapi.
            2.      Kebebasan dan tanggung jawab
Manusia adalah makhluk yang menentukan diri, dalam arti bahwa dia memiliki kebebasan untuk memilih di antara altematif-altematif. Karena manusia pada dasamya bebas, maka dia harus bertanggung jawab atas pengarahan hidup dan penentuan nasibnya sendiri. Pendekatan eksistensial meletakkan kebebasan, determinasi diri, keinginan, dan putusan pada pusat keberadaan manusia. Pandangan eksistensial adalah bahwa individu, dengan putusan-putusannya, membentuk nasib dan mengukir keberadaannya sendiri. Seseorang menjadi apa yang diputuskannya, dan dia harus bertanggung jawab atas jalan hidup yang ditempuhnya.
Tugas terapis adalah mendorong klien untuk belajar menanggung risiko terhadap akibat penggunaan kebebasannya. Yang jangan dilakukan adalah melumpuhkan klien dan membuatnya bergantung secara neurotik pada terapis. Terapis perlu mengajari klien bahwa dia bisa mulai membuat pilihan meskipun terapis boleh jadi telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk melarikan diri dari kebebasan memilih.
            3.      Keterpusatan dan kebutuhan akan orang lain
Setiap individu memiliki kebutuhan untuk memelihara keunikan tetapi pada saat yang sama ia memiliki kebutuhan untuk keluar dari dirinya sendiri dan untuk berhubungan dengan orang lain serta dengan alam. Kegagalan dalam berhubungan dengan orang lain dan dengan alam menyebabkan ia kesepian dan mengalami keterasingan. Kita masing-masing memiliki kebutuhan yang kuat untuk menemukan suatu diri, yakni menemukan identitas pribadi kita. Akan tetapi, penemuan siapa kita sesungguhnya bukanlah suatu proses yang otomatis, ia membutuhkan keberanian. Secara paradoksal kita juga memiliki kebutuhan yang kuat untuk keluar dari keberadaan kita. Kita membutuhkan hubungan dengan keberadaan-keberadaan yang lain. Kita harus memberikan diri kita kepada orang lain dan terlibat dengan mereka. Usaha menemukan inti dan belajar bagaimana hidup dari dalam memerlukan keberanian. Kita berjuang untuk menemukan, untuk menciptakan, dan untuk memelihara inti dari ada kita.
Salah satu ketakutan terbesar dari para terapis adalah bahwa mereka akan tidak menemukan diri mereka. Mereka hanya menganggap bahwa mereka bukan siapa-siapa. Para terapis eksistensial bisa memulai dengan meminta kepada para kliennya untuk mengakui perasaannya sendiri. Sekali terapis menunjukan keberanian untuk mengakui ketakutannya, mengungkapkan ketakutan dengan kata-kata dan membaginya, maka ketakutan itu tidak akan begitu menyelubunginya lagi. Untuk mulai bekerja bagi terapis adalah mengajak klien untuk menerima cara-cara dia hidup di luar dirinya sendiri dan mengeksplorasi cara-cara untuk keluar dari pusatnya sendiri. Kebutuhan akan diri berkaitan dengan kebutuhan menjalani hubungan yang bermakna dengan orang lain. Jika kita hidup dalam isolasi dan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan orang lain maka kita mengalami perasaan terabaikan, terasingkan, dan terkucilkan.
            4.      Pencarian makna
Salah satu karakteristik yang khas pada manusia adalah perjuangannya untuk merasakan arti dan maksud hidup. Manusia pada dasarnya selalu dalam pencarian makna dan identitas pribadi. Biasanya konflik-konflik yang mendasari sehingga membawa orang-orang ke dalam konseling adalah dilema-dilema yang berkisar pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial: Mengapa saya berada? Apa yang saya inginkan dari hidup? Apa maksud dan makna hidup saya? Terapi eksistensial bisa menyediakan kerangka konseptual untuk membantu klien dalam usahanya mencari makna hidup. Tugas terapis dalam proses terapi adalah membantu klien dalam menciptakan suatu sistem nilai berlandaskan cara hidup yang konsisten dengan cara ada-nya klien. Terapis harus menaruh kepercayaan terhadap kesanggupan klien dalam menemukan sistem nilai yang bersumber pada dirinya sendiri dan yang memungkinkan hidupnya bermakna. Klien tidak diragukan lagi akan bingung dan mengalami kecemasan sebagai akibat tidak adanya nilai-nilai yang jelas. Kepercayaan terapis terhadap klien adalah variabel yang penting dalam mengajari klien agar mempercayai kesanggupannya sendiri dalam menemukan sumber nilai-nilai baru dari dalam dirinya.
            5.      Kecemasan sebagai syarat hidup
Kecemasan adalah suatu karakteristik dasar manusia. Kecemasan tidak perlu merupakan sesuatu yang patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga motivasi yang kuat untuk pertumbuhan. Kecemasan adalah akibat dari kesadaran atas tanggung jawab untuk memilih. Kebanyakan orang mencari bantuan profesional karena mereka mengalami kecemasan atau depresi. Banyak klien yang memasuki kantor konselor disertai harapan bahwa konselor akan mencabut penderitaan mereka atau setidaknya akan memberikan formula tertentu untuk mengurangi kecemasan mereka. Terapis yang berorientasi eksistensial, bagaimanapun, bekerja tidak semata-mata untuk menghilangkan gejala-gejala atau mengurangi kecemasan. Sebenarnya, terapis eksistensial tidak memandang kecemasan sebagai hal yang tak diharapkan. Ia akan bekerja dengan cara tertentu sehingga untuk sementara klien bisa mengalami peningkatan taraf kecemasan.
            6.      Kesadaran atas kematian dan non-ada
Kesadaran atas kematian adalah kondisi manusia yang mendasar yang memberikan makna kepada hidup. Kematian memberikan makna kepada keberadaan manusia. Jika kita tidak akan pernah mati, maka kita bisa menunda tindakan untuk selamanya. Akan tetapi, karena kita terbatas, apa yang kita lakukan sekarang memiliki arti khusus. Yang menentukan kebermaknaan hidup seseorang bukan lamanya, melainkan bagaimana orang itu hidup.
            7.      Perjuangan untuk aktualisasi diri
Manusia berjuang untuk aktualisasi diri, yakni kecenderungan untuk menjadi apa saja yang mereka mampu. Setiap orang memiliki dorongan bawaan untuk menjadi seorang pribadi, yakni mereka memiliki kecenderungran kearah pengembangan keunikan dan ketunggalan, penemuan identitas pribadi, dan perjuangan demi aktualisasi potensi-potensinya secara penuh. Jika seseorang mampu mengaktualkan potensi-potensinya sebagai pribadi, maka dia akan mengalami kepuasan yang paling dalam yang bisa dicapai oleh manusia. Beberapa ciri pada orang-orang yang mengaktualkan diri itu adalah: kesanggupan menoleransi dan bahkan menyambut ketidaktentuan dalam hidup mereka, penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain, kespontanan dan kreatifitas, kebutuhan akan privacy dan kesendirian, otomoni, kesanggupan menjalin hubungan interpersonal yang mendalam dan intens, perhatian yang tulus terhadap orang lain, rasa humor, keterarahan kepada diri sendiri (kebalikan dari kecenderungan untuk hidup berdasarkan pengharapan orang lain), dan tidak adanya dikotomi-dikotomi yang artifisial (seperti kerja-bermain, cinta-benci, lemah-kuat).
C.       Tujuan Terapi
1.    Agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi dasar atas
keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan
bertindak berdasarkan kemampuannya.
2.    Meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihan
nya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.
3.    Membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan
memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekedar korban
kekuatan-kekuatan deterministik di luar dirinya.
D.      Fungsi dan Peran Terapis
1.    Mengakui pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
2.    Menyadari peran dari tanggung jawab terapis.
3.    Mengakui sifat timbal balik dari hubungan terapeutik.
4.    Berorientasi pada pertumbuhan.
5.    Menekankan keharusan terapis terlibat dengan klien sebagai suatu pribadi.
6.    Mengakui bahwa putusan dan pilihan akhir terletak ditangan klien.
7.    Memandang terapis sebagai model, dalam arti bahwa terapis dengan gaya
hidup dan pandangan humanistiknya tentang manusia secara implisit menunjukkan kepada klien potensi bagi tindakan kreatif dan positif.
8.    Mengakui kebebasan klien untuk mengungkapkan pandangan dan untuk
Mengembangkan tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
9.    Bekerja ke arah mengurangi ketergantungan serta meningkatkan
kebebasan klien.

Sumber:
Corey, Gerald. (1988). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Eresco.

Minggu, 17 Maret 2013

Terapi Psikoanalisa


Tokoh yang paling terkenal dari teori psikoanalisa ini adalah Sigmund Freud. Psikoanalisa dapat dipandang sebagai teori kepribadian ataupun metode psikoterapi.
A.                Konsep Utama
Secara umum konsep utama dari teori psikoanalisa adalah:
1.                  Setiap anak memilki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dalam rangka perkembangan kepribadiannya secara sehat. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan kasih sayang, rasa aman, rasa memilki, dan perasaan sukses.
2.                  Perasaan merupakan aspek yang mendasar dan penting dalam kehidupan dan perilaku anak.
3.                  Masing-masing anak berkembang melalui beberapa tahapan perkembangan emosional. Pengalaman traumatik dan deprivasi dapat berpengaruh terhadap munculnya gangguan kepribadian.
4.                  Kualitas hubungan emosional anak dengan keluarga dan orang lain yang signifikan dalam kehidupannya merupakan faktor yang sangat krusial.
5.                  Kecemasan akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dan konflik-konflik dalam diri anak merupakan faktor penentu penting terhadap munculnya gangguan tingkah laku.
                                                                  
a.                   Persepsi tentang sifat manusia
Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual tertentu pada masa enam tahun pertama dalam kehidupannya. Pandangan ini menunjukkan bahwa aliran teori Freud tentang sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik. Ajaran psikoanalisa juga menyatakan bahwa perilaku seseorang itu lebih rumit dari pada apa yang dibayangkan pada orang tersebut. Sedangkan tantangan tebesar yang dihadapi manusia adalah bagaimana mengendalikan dorongan egresif. Bagi Sigmund Freud, rasa resah dan cemas yang dihadapi seseorang erat kaitannya dengan kenyataan bahwa setiap manusia akan mengalami kematian.
b.                  Struktur kepribadian
1)                 Id
Komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal. Merupakan bagian tertua dari aparatur mental sekaligus merupakan komponen terpenting sepanjang hidup. Id bekerja dengan menganut prinsip kesenangan “pleasure principle”.
2)                 Ego
Bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, berperan sebagai “eksekutif” yang memerintah, mengatur dan mengendalikan, serta mengontrol jalannya id, super-ego dan dunia luar, penengah antara instink dengan dunia luar dengan menilai realita dalam hubungan dengan nilai-nilai moralitas. Prinsip kerja ego menganut prinsip realitas “reality principle”.
3)                 Superego
Bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik-buruk, salah-benar, boleh-tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego. Di sini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan norma-norma moral masyarakat.
Dalam dinamika kepribadian manusia id, ego, dan superego masing-masing memilki fungsi, sifat, dan prinsip kerja tersendiri, namun semuanya berinteraksi begitu erat satu sama lainnya dan tidak mungkin dipisahkan.
c.                  Kesadaran dan ketidaksadaran
Dalam pandangan Freud, sebagian besar perilaku manusia didorong atau ditentukan oleh kekuatan atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak disadari, yaitu pengalaman-pengalaman atau trauma masa kecil yang terdesak, tertekan, terpendam, atau terkubur dalam ketidaksadarannya akan menimbulkan kecemasan yang tidak tertahankan.
d.                 Kecemasan
Yaitu suatu keadaan tegang atau takut yang mendalam sebagai hasil bermunculannya pengalaman-pengalaman yang terdesak. Kecemasan berkembang dari konflik antara sistem id, ego, dan superego tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada. Fungsi utama kecemasan adalah untuk mengingatkan adanya bahaya yang datang.
1)                 Kecemasan realita
Rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar. Kecemasan ini sumbernya adalah ego.
2)                 Kecemasan neurotik
Rasa takut yang bersumber pada id, yaitu takut tidak mampu mengendalikan instiknya.
3)                 Kecemasan moral
Rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri, yaitu terhadap adanya pertentangan moral. Sumber kecemasan ini adalah superego.
Kecemasan selalu berakibat kepadda terancamnya ego, sehingga memaksa ego untuk mengambil tindakan untuk menghilangkannya agar diperoleh keseimbangan.

B.                Tujuan Konseling
Untuk mengurangi simptom psikopatologi dengan memunculkan pikiran dan perasaan-perasaan yang tertekan atau depresi ke dalam alam kesadarannya. Dengan kata lain membentuk kembali struktur kepribadian klien dengan menggali kembali hal-hal yang terpendam dalam alam ketidaksadarannya sehingga menjadi bagian dari alam kesadarannya. Agar berhasil, penting untuk melibatkan emosi sebagai bagian dari proses terapi serta menjadikan pemahamnnya sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesadaran dirinya dengan mengkoreksi terhadap pengalaman-pengalamn emosionalnya.
Sumber konflik adalah materi-materi yang yang tertakan pada alam ketidaksadaran, terutama yang terjadi pada awal kehidupannya. Untuk itu ,terapis harus dapat membantu dan memotivasi klien agar mampu mengahayati dan mengekspresikan pengalaman-pengalaman masa lampaunya secara terrbuka, untuk selanjutnya ditata, didiskusikan, dianalisa, dan ditafsirkan dengan tujuan utama untuk merekonstruksikan kepribadiannya.
C.                Fungsi dan Terapis
Fungsi utama terapis adalah memberikan kemudahan kepada klien untuk memantulkan perasaan-perasaannya yang tertekan serta menafsirkan dan menganalisanya. Terutama terhadap bentuk-bentuk resistensi yang dihadapinya, yaitu suatu keadaan dimana anak berusaha untuk melindungi, menolak, mengingkari, atau mempertahankan diri dari suatu perasaan, trauma, atau interpretasi yang tidak mengenakkan dari terapis.
Agar fungsi berjalan dengan baik, penting bagi terapis untuk sejak awal mendorong klien agar dapat menyatakan dirinya secara bebas, sehingga secara berangsur-angsur klien dapat menemukan faktor-faktor penentu yang tidak disadari dari perilakunya pada masa kini. Disamping itu terapis hendaknya bersikap anonim (tidak dikenal) serta berupaya untuk sedikit menunjukkan perasaan dan pengalamannya.
D.                Proses dan Teknik Terapi
Sekalipun dalam psikoanalisa terapis hendaknya bersikap anonim, namun dalam prosesnya sejak awal terapis harus dapat membina hubungan baik dengan klien. Terapis juga harus mendorong klien agar mampu menyatakan dirinya secara bebas, membantu apabila klien melakukan penolakan (resistensi), menyambut baik pernyataan pengalihan (tranferensi), serta berusaha untuk membimbing klien ke arah kesadaran penuh dan ke arah intergritas sosial secara memuaskan.
Lima teknik dasar  dalam terapi psikoanalisa :
1.                  Asosiasi bebas
Secara mendasar, tujuan teknik ini adalah untuk mengungkapkan pengalaman masa lalu dan menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan pengalaman traumatik masa lampau.
Teknik asosiasi bebas ini dilakukan dengan klien berbaring di dipan dan terapis duduk di kursi sejajar dengan kepala klien, sehingga klien tidak melihat terapis. Dengan demikian, klien dapat mengungkapkan atau menyalurkan materi-materi yang ada dalam ketidaksadarannya secara bebas, terbuka, tidak menutup-nutupi tanpa harus malu, meskipun materi tesebut menyakitkan, tidak logis, atau tidak relevan.
Terapis harus mampu menjadi pendengar yang baik serta mendorong klien agar mampu mengungkapkan secara spontan setiap ingatan yang terlintas dalam pikirannya, pengalaman traumatik, mimpi, penolakan, dan pengalihan perasaannya.
2.                  Interpretasi atau penafsiran
Adalah teknik yang digunakan oleh terapis untuk menganalisis asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi perasaan klien dengan tujuan utama untuk menemukan materi yang tidak disadari. Dengan demikian ego klien dapat mencerna materi tersebut melalui pemahaman baru dengan penuh kesadaran.
Dalam memberikan penafsiran, terapis harus hati-hati serta dapat memilih waktu dan kata-kata yang tepat agar klien tidak justru menjadi menutup diri atau mengembangkan pertahanan dirinya.
3.                  Analisis Mimpi
Setiap mimpi memiliki isi yang bersifat manifes atau disadari dan juga bersifat laten (tersembunyi). Isi yang brsifat manifes adalah mimpi sebagai tampak pada diri orang yang mimpi, sedangkan isi yang bersifat laten terdiri dari motif-motif tersamar dari mimpi tersebut. Tujuan analisis mimpi adalah untuk mencari isi yang laten atau sesuatu yang ada dibalik isi yang manifes, untuk menemukan sumber-sumber konflik terdesak. Analisis mimpi hendaknya difokuskan kepada mimpi-mimpi yang sifatnya berulang-ulang, menakutkan, dan sudah pada taraf mengganggu.
4.                  Analisis Resistensi
Resistensi merupakan suatu dinamika yang tidak disadari untuk mempertahankan kecemasan. Resistensi atau penolakan adalah keengganan klien untuk mengungkapkan materi ketidaksadaran yang mengancam dirinya, yang berarti ada perthanan diri terhadap kecemasan yang dialaminya. Apabila hal ini terjadi, maka sebenarnya merupakan kewajaran. Namun, yang penting bagi terapis adalah bagaimana pertahanan diri tersebut dapat diterobos sehingga dapat teramati, untuk selanjutnya dianalisis dan ditafsirkan, sehingga klien menyadari alasan timbulnya resistensi tersebut.
5.                  Analisis Transferensi
Transferesnsi atau pengalihan adalah pergeseran arah yang tidak disadari kepada terapis dari orang-orang tertentu dalam masa silam klien. Pengalihan ini terkait dengan perasaan, sikap, dan khayalan klien, baik positif maupun negatif yang tidak terselesaikan pada masa silamnya.
Teknik analisis transferensi dilakukan dengan mengusahakan klien mampu mengembangkan transferensinya guna mengungkap kecemasan-kecemasan yang dialami pada masa kanak-kanaknya. Apabila transferensi ini tidak ditangani dengan baik, maka klien dapat menjadi bersikap menolak terhadap perlakuan terapis dan proses terapi dapat dirasakan sebagai suatu hukuman.

Sumber :
Kuntjojo. Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling.
Sunardi, Permanarian dan M. Assjari. (2008). Teori Konseling. Bandung: PLB FIP UPI.