Negatif
Berpura-pura tidak selalu memberikan efek positif dan baik bagi diri kita. Kita mungkin berpura-pura ketakutan dengan harapan akan mendapat perlindungan dari orang yang berarti bagi kita. Mungkin saja kita akan berhasil, tetapi tentu saja perolehan itu sifatnya sangat rentan serta kurang kuat akar penyangganya. Mengapa ? karena sikap berpura-pura membutuhkan energi psikis berlanjut yang akhirnya juga melelahkan diri kita sendiri.
Memang pura-pura dapat menghindarkan diri kita dari rasa cemas melihat realitas. Misalnya, sebenarnya relasi kita dengan pasangan kita tak sebaik yang kita jalani, tetapi kita berpura-pura seolah relasi yang terjalin begitu manis. Sikap pura-pura seperti itu sebenarnya manifestasi dari ketakutan kita mengakui kenyataan atas relasi yang buruk dengan pasangan kita karena kenyataan tersebut biasanya membuat diri kita merasa terpuruk dan tidak nyaman. Terkadang kita juga berharap, dengan bersikap seolah tidak terjadi suatu yang negatif, dapat mencegah kemungkinan menajamnya konflik yang memicu semakin memburuknya relasi dengan pasangan kita.
Cara berpura-pura tersebut di atas adalah pura-pura yang negatif sebab sikap tersebut akan membuat energi kehidupan kita semakin hari semakin melemah. Melemahnya energi kehidupan kita akan membatasi potensi kita untuk melakukan ekspansi positif bagi peningkatan kualitas hidup kita. Saat berpura-pura, sebenarnya kita menyertakan aksi pengorbanan diri yang salah dan terus-menerus harus membohongi orang lain dan bahkan membohongi serta mengkhianati diri kita sendiri.
Positif
Sebaliknya, pura-pura yang canggih akan membuat kita terlepas dari suatu relasi yang monoton, membosankan, karena selalu harus mengulang topik percakapan yang terbatas. Dalam relasi intim dengan pasangan kita, bersikap pura-pura yang positif dapat memfaslitasi menguaknya ketajaman akan kesadaran diri karena kita memberikan reaksi yang lain daripada biasanya.
Misalnya, dengan berpura-pura suka akan perubahan perilaku pasangan, kita akan mendapatkan fakta nyata akan kejujuran pasangan kita. Kecuali itu, saat mengawali sikap pura-pura yang positif, kita sekaligus melakukan ekssperimen guna meningkatkan kualitas pengalaman kita, baik tentang diri sendiri maupun diri pasangan kita.
Pura-pura akan mengarahkan kita pada penemuan kebenaran yang baru dan membantu kita tidak hanya dengan menemukan sesuatu yang baru, melainkan juga dapat mengambil keputusan yang tepat bagi diri sendiri dan pasangan kita. Contohnya, saat berada di tepi kolam renang yang dalam dan kita berpura-pura berani melompat ke kolam tersebut, akhirnya kita pun benar-benar menjadi berani melompat ke kolam.
Begitu pula halnya dengan pasangan kita, misalnya dia berpura-pura menjadi laki-laki matang yang berani bertanggung jawab, maka pasangan kita akan memusatkan konsentrasinya kepada diri sendiri dan serta merta akan mendapatkan dirinya ternyata memiliki kompetensi sebagai pria matang yang selama ini tidak dia rasakan. Jadi, pura-pura yang canggih akan membantu kita melakukan ekspansi terhadap apa yang nyata dan benar tentang diri kita sendiri dan relasi kita dengan pasangan kita.
Trik
Ada trik melepaskan diri dari kebiasaan pura-pura yang negatif :
“Ibu, saya jenuh, capek, kesepian, dan jengkel karena setiap ada masalah dalam keluarga, mereka selalu meminta bantuan saya. Sejak menjadi mahasiswa psikologi, saya berpura-pura seolah saya mandiri dan mantap sehingga saya terpojok dalam peran sebagai seseorang yang punya kewajiban untuk mendengarkan persoalan mereka. Mereka tidak pernah mau tahu bahwa saya juga manusia biasa yang membutuhkan mereka untuk mau menjadi tempat saya berkeluh kesah. Reaksi mereka saat saya mulai ingin bercerita tentang kesulitan saya adalah selalu memotong pembicaraan saya dan mereka mulai lagi dengan keluhan mereka. Apalagi adik saya, yang menikah dini, baru tiga bulan ini bercerai, dia terus menyita waktu saya dengan keluhan tentang L, mantan suaminya. Dia merasa, sebagai kakaknya, saya harus mengayomi dirinya dan harus selalu siap mendengarkan keluh kesahnya.” (T, 25 tahun)
Rasa jenuh, capek, kesepian, dan jengkel pada T adalah efek negatif dari pura-pura kuat, tentu saja kondisi ini tidak dapat dibiarkan berlanjut. Seyogianya, pada suatu saat T harus mengungkapkan terus terang kepada adiknya, L, misalnya, bahwa dia pun membutuhkan L untuk mendengarkan keluhannya dan berbagi cerita tentang pengalamannya yang tak menyenangkan di kantor tempat L bekerja.
Biasanya, L akan memotong pembicaraan T dengan mengungkapkan lagi tentang perilaku buruk mantan suaminya. Untuk itu, T hendaknya berani menyatakan bahwa “cukup sudah kamu bicara tentang kelakuan mantan suamimu, sekarang saya membutuhkan kamu untuk mendengarkan keluhan saya. Saya juga butuh pendapatmu.”
Perubahan sikap L pasti membutuhkan waktu, tetapi dengan cara tersebut, pelan tetapi pasti, T akan segera melepas sikap pura-pura yang selama ini membuat dirinya lelah, capek, jenuh, dan jengkel .
Sumber : KORAN KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar