Senin, 29 April 2013

LOGOTERAPI


Victor Emil Frankl dan Logoterapi

Teori dan terapi Viktor Frankl lahir dari pengalamannya selama menjadi tawanan di kamp konsentrasi Nazi. Di sana, ia menyaksikan banyak orang yang mampu bertahan hidup atau mati di tengah siksaan. Hingga akhirnya dia menganggap bahwa mereka yang tetap berharap bisa bersatu dengan orang-orang yang dicintai, punya urusan yang harus diselesaikan di masa depan, punya keyakinan kuat, memiliki kesempatan lebih banyak daripada yang kehilangan harapan.
Frankl menamakan terapinya dengan logoterapi, dari kata Yunani, “logos”, yang berarti pelajaran, kata, ruh, Tuhan atau makna. Frankl menekankan pada makna sebagai pegertian logos. Bila Freud dan Addler menekankan pada kehendak pada kesenangan sebagai sumber dorongan. Maka, Frankl menekankan kehendak untuk makna sebagai sumber utama motivasi.
Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna hidup dalam hidup seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Logoterapi berusaha membuat pasien menyadari tanggungjawab dirinya dan memberinya kesempatan untuk memilih, untuk apa, atau kepada siapa dia merasa bertanggungjawab. Logoterapi tidak menggurui atau berkotbah melainkan pasien sendiri yang harus memutuskan apakah tugas hidupnya bertanggung jawab terhadap masyarakat, atau terhadap hati nuraninya sendiri. 
Selain itu, Frankl juga menggunakan noös yang berarti jiwa/pikiran. Bila psikoanalisis terfokus pada psikodinamik, yakni manusia dianggap berusaha mengatasi dan mengurangi ketegangan psikologis. Namun, Frankl menyatakan seharusnya lebih mementingkan noödinamik, yaitu ketegangan menjadi unsur penting bagi keseimbangan dan kesehatan jiwa. Bagaimana pun, orang menginginkan adanya ketegangan ketika mereka berusaha mencapai tujuan.
Menurut Frankl logoterapi memiliki wawasan mengenai manusia yang berlandaskan tiga pilar filosofis yang satu dengan lainya erat hubunganya dan saling menunjang yaitu:
a. Kebebasan berkehendak (Freedom of Will)
Dalam pandangan logoterapi, manusia adalah mahluk yang istimewa karena mempunyai kebebasan. Kebebasan disini bukanlah kebebasan yang mutlak, tetapi kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan manusia bukanlah kebebasan dari (freedom from) kondisi-kondisi biologis, psikologis dan sosiokultural tetapi lebih kepada kebebasan untuk mengambil sikap (freedom to take a stand) atas kondisi-kondisi tersebut. Kelebihan manusia yang lain adalah kemampuan untuk mengambil jarak (to detach) terhadap kondisi di luar dirinya, bahkan manusia juga mempunyai kemampuan-kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri (self detachment). Kemampuan-kemampuan inilah yang kemudian membuat manusia disebut sebagai “the self deteming being” yang berarti manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang dianggap penting dalam hidupnya.
b. Kehendak Hidup Bermakna (The Will to Meaning)
Menurut Frankl, motivasi hidup manusia yang utama adalah mencari makna. Ini berbeda denga psikoanalisa yang memandang manusia adalah pencari kesenangan atau juga pandangan psikologi individual bahwa manusia adalah pencari kekuasaan. Menurut logoterapi bahwa kesenagan adalah efek dari pemenuhan makna, sedangkan kekuasaan merupakan prasyarat bagi pemenuhan makna itu. Mengenal makna itu sendiri menurut Frankl bersifat menarik (to pull) dan menawari (to offer) bukannya mendorong (to push). Karena sifatnya menarik itu maka individu termotivasi untuk memenuhinya agar ia menjadi individu yang bermakna dengan berbagai kegiatan yang sarat dengan makna.
c.  Makna Hidup (The Meaning Of Life)
Makna hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Untuk tujuan praktis makna hidup dianggap identik dengan tujuan hidup. Makna hidup bisa berbeda antara manusia satu dengan yang lainya dan berbeda setiap hari, bahkan setiap jam. Karena itu, yang penting bukan makna hidup secara umum, melainkan makna khusus dari hidup seseorang pada suatu saat tertentu. Setiap manusia memiliki pekerjaan dan misi untuk menyelesaikan tugas khusus. Dalam kaitan dengan tugas tersebut dia tidak bisa digantikan dan hidupnya tidak bisa diulang. Karena itu, manusia memiliki tugas yang unik dan kesempatan unik untuk menyelesaikan tugasnya (Frankl, 2004).

Kerangka berpikir teori kepribadian model logoterapi dan dinamika kepribadiannya dapat digambarkan sebagai berikut.
ð Pertama, setiap orang selalu mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya. Dalam pandangan logoterapi, kebahagiaan itu tidak datang begitu saja, tetapi merupakan akibat sampingan dari keberhasilan seseorang memenuhi keinginannya untuk hidup bermakna (the will to meaning). Mereka yang berhasil memenuhinya akan mengalami hidup yang bermakna (meaningful life) dan ganjaran (reward) dari hidup yang bermakna adalah kebahagiaan (happiness).
ð Kedua, jika mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi ini akan mengalami kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya tidak bermakna (meaningless). Kondisi ini apabila tidak teratasi dapat mengakibatkan gangguan neurosis (noogenik neurosis), mengembangkan karakter totaliter (totalitarianism) dan konformis (conformism).
ð Ketiga, Frankl menentang pendirian dalam psikologi dan psikoterapi bahwa manusia ditentukan oleh kondisi biologis, konflik-konflik masa kanak-kanak, atau kekuatan lain dari luar. Ia berpendapat bahwa kebebasan manusia merupakan kebebasan yang berada dalam batas-batas tertentu. Manusia dianggap sebagai makhluk yang memiliki berbagai potensi luar biasa, tetapi sekaligus memiliki keterbatasan dalam aspek ragawi, aspek kejiwaan, aspek sosial budaya dan aspek kerohanian.
ð Keempat, kebebasan manusia bukan merupakan kebebasan dari (freedom from) bawaan biologis, kondisi psikososial dan kesejarahannya, melainkan kebebasan untuk menentukan sikap (freedom to take a stand) secara sadar dan menerima tanggung jawab terhadap kondisi-kondisi tersebut, baik kondisi lingkungan maupun kondisi diri sendiri. Dengan demikian, kebebasan yang dimaksud Frankl bukanlah lari dari persoalan yang sebenarnya harus dihadapi.
ð Kelima, dalam berperilaku, manusia berusaha mengarahkan dirinya sendiri pada sesuatu yang ingin dicapainya, yaitu makna. Keinginan akan makna inilah yang mendorong setiap manusia untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya dirasakan berarti dan berharga. Namun, Frankl tidak sependapat dengan prinsip determinisme dan berkeyakinan bahwa manusia dalam berperilaku terdorong mengurangi ketegangan agar memperoleh keseimbangan dan mengarahkan dirinya sendiri menuju tujuan tertentu yang layak bagi dirinya.

Tujuan Logoterapi
Tujuan dari logoterapi adalah agar setiap pribadi:
a.    memahami adanya potensi dan sumber daya rohaniah yang secara universal ada pada setiap orang terlepas dari ras, keyakinan dan agama yang dianutnya.
b.    menyadari bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan, terhambat dan diabaikan bahkan terlupakan.
c.    memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan untuk mampu tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.

Pandangan Logoterapi terhadap Manusia
a.    Menurut Frankl manusia merupakan kesatuan utuh dimensi ragawi, kejiwaan dan spiritual. Unitas bio-psiko-spiritual.
b.    Frankl menyatakan bahwa manusia memiliki dimensi spiritual yang terintegrasi dengan dimensi ragawai dan kejiwaan. Perlu dipahami bahwa sebutan “spirituality” dalam logoterapi tidak mengandung konotasi keagamaan karena dimensi ini dimiliki manusia tanpa memandang ras, ideologi, agama dan keyakinannya. Oleh karena itulah Frankl menggunakan istilah noetic sebagai padanan dari spirituality, supaya tidak disalahpahami sebagai konsep agama.
c.    Dengan adanya dimensi noetic ini manusia mampu melakukan self-detachment, yakni dengan sadar mengambil jarak terhadap dirinya serta mampu meninjau dan menilai dirinya sendiri.
d.   Manusia adalah makhluk yang terbuka terhadap dunia luar serta senantiasa berinteraksi dengan sesama manusia dalam lingkungan sosial-budaya serta mampu mengolah lingkungan fisik di sekitarnya.

Frankl menyimpulkan bahwa makna hidup bisa ditemukan melalui tiga cara, yaitu:
a.    Nilai Kreatif
Nilai kreatif dapat diraih melalui berbagai kegiatan. Pada dasarnya seorang bisa mengalami stress jika terlalu banyak beban pekerjaan, namun ternyata seseorang akan merasa hampa dan stress pula jika tidak ada kegiatan yang dilakukannya. Kegiatan yang dimaksud tidaklah semata-mata kegiatan mencari uang, namun pekerjaan yang membuat seorang dapat  merealisasikan potensi-potensinya sebagai sesuatu yang dinilainya berharga bagi dirinya sendiri atau orang lain maupun kepada Tuhan.
b.    Nilai Penghayatan
Nilai penghayatan menurut Frankl dapat dikatakan berbeda dari nilai kreatif karena cara memperoleh nilai penghayatan adalah dengan menerima apa yang ada dengan penuh pemaknaan dan penghayatan yang mendalam. Realisasi nilai penghayatan dapat dicapai dengan berbagai macam bentuk penghayatan terhadap keindahan, rasa cinta dan memahami suatu kebenaran. Makna hidup dapat diraih melalui berbagai momen maupun hanya dari sebuah momen tunggal yang sangat mengesankan bagi seseorang misalnya memaknai hasil karya sendiri yang dinikmati orang lain.
c.    Nilai Bersikap
Nilai terakhir adalah nilai bersikap. Nilai ini sering dianggap paling tinggi karena di dalam menerima kehilangan kita terhadap kreativitas maupun kehilangan kesempatan untuk menerima cinta kasih, manusia tetap bisa mencapai makna hidupnya melalui penyikapan terhadap apa yang terjadi. Bahkan di dalam suatu musibah yang tak terelakan, seorang masih bisa dijadikannya suatu momen yang sangat bermakan dengan cara menyikapinya secara tepat. Dengan perkataan lain penderitaan yang dialami seseorang masih tetap dapat memberikan makna bagi dirinya.

Sumber:
Frankl. Emil. 2004. On the theory and therapy of mental disorders: an introduction to logotherapy and existential analysis. Brunner-Routledge 270 Madison Avenue. New York.

Minggu, 14 April 2013

Terapi Tingkah Laku


Terapi tingkah laku adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Ia menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip  belajar pada pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif. Pendekatan ini telah memberikan sumbangan-sumbangan yang berarti, baik kepada bidang klinis maupun pendidikan.
            Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku. Kini modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku menduduki tempat yang penting dalam lapangan psikoterapi dan dalam banyak area pendidikan. Modifikasi tingkah laku telah memberikan pengaruh yang besar kepada lapangan pendidikan, terutama pada area pendidikan khusus yang menangani anak-anak yang memilki masalah-masalah belajar dan tingkah laku.
           
Konsep utama

Pandangan tentang sifat manusia
Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan menyingkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku.
Pendekatan behavioristik tidak menguraikan asumsi-asumsi filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap orang dipandang memilki kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama. Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari. Meskipun berkeyakinan bahwa segenap tingkah laku pada dasarnya merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan linkungan dan faktor-faktor genetik, para behavioris memasukkan pembuatan putusan sebagai salah satu bentuk tingkah laku.
B. F.  Skinner (dalam Corey, 1995), menyebutkan bahwa para behavioris radikal menekankan manusia sebagai dikendalikan oleh kondisi-kondisi lingkungan. Pendirian deteministik mereka yang kuat berkaitan erat dengan komitmen terhadap pencarian pola-pola tingkah laku yang dapat diamati. Mereka menjabarkan melalui rincian spesifik berbagai faktor yang dapat diamati yang mempengaruhi belajar serta membuat argumen bahwa manusia dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan eksternal.
John Watson, pendiri behaviorisme, adalah seorang behavioris radikal yang pernah menyatakan bahwa ia bisa mengambil sejumlah bayi yang sehat dan menjadikan bayi itu apa saja yang diinginkannya – dokter, ahli hukum, seniman, perampok, pencopet – melalui bentuk lingkungan. Jadi, Watson menyingkirkan dari psikologi konsep-konsep seperti kesadaran, determinasi diri, dan berbagai fenomena subjektif lainnya. Ia mendirikan suatu psikologi tentang kondisi-kondisi tingkah laku yang dapat diamati. Marquis (dalam Corey, 1995) menyatakan bahwa terapi tingkah laku itu mirip keahlian teknik dalam arti ia menerapkan informasi-informasi ilmiah guna menemukan pemecahan-pemecahan teknis atas masalah-masalah manusia. Jadi, behaviorisme berfokus pada bagaimana orang-orang belajar dan kondisi-kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku mereka.

Ciri-ciri untuk terapi tingkah laku
(a)      Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik
(b)     Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment
(c)      Perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah
(d)     Penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi
Terapi tingkah laku tidak berlandaskan sekumpulan konsep yang sistematik, juga tidak berakar pada suatu teori yang dikembngakan dengan baik. Sekalipun memilki banyak teknik, terapi tingkah laku hanya memilki sedikit konsep. Ia adalah suatu pendekatan induktif yang berlandaskan eksperimen-eksperimen, dan menerapakan metode eksperimental pada proses terapi. Peertanyaan terapis boleh jadi, “Tingkah laku spesifik apa yang oleh individu ini ingin diubah, dan tingkah laku baru yang bagaimana yang ingin dipelajari?” Kekhususan ini membutuhkan suatu pengamatan yang cermat atas tingkah laku klien. Penjabaran-penjabaran yang kabur dan umum tidak bisa diterima: tingkah laku yang oleh klien diinginkan berubah, dispesifikasi. Yang juga penting adalah bahwa kondisi-kondisi yang menjadi penyebab timbulnya tingkah laku masalah diidentifikasi sehingga kondisi-kondisi baru bisa diciptakan guna memodifikasi tingkah laku. Urusan terapi utama adalah mengisolasi tingkah laku masalah, dan kemudian menciptakan cara-cara untuk mengubahnya.
Pada dasarnya terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan.  Karena tingkah laku yang dituju dispesifikasi dengan jelas, tujuan-tujuan treatment dirinci, dan metode-metode terapi diterangkan, maka hasil-hasil terapi menjadi bisa dievaluasi. Terapi tingkah laku memasukkan kriteria yang didefinisikan dengan baik bagi perbaikan atau penyembuhan. Karena terapi tingkah laku menekankan evaluasi atas keefektifan teknik-teknik yang digunakan, maka evolusi dan perbaikan yang berkesinambungan atas prosedur-prosedur treatment menandai proses terapi.

Tujuan-tujuan terapi
Tujuan umum terapi tingkah laku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif. Terapi tingkah laku tampaknya menitikberatkan kecakapan terapis dalam menetapkan tujuan-tujuan dan tingkah laku, para pemraktek kontemporer memberikan penekanan pada keaktifan klien dalam memilih tujuan-tujuan dan pada keterlibatan aktif klien dalam proses terapi. Mereka menjelaskan bahwa terapi tidak bisa dipaksakan kepada klien yang tidak berkesediaan dan bahwa terapis dan klien perlu bekerja sama untuk mencapai sasaran-sasaran bersama.
Krumboltz dan Thorensen (dalam Corey, 1995) telah mengembangkan tiga kriteria bagi perumusan tujuan yang bisa diterima dalam terapi tingkah laku:
(a)      Tujuan yang dirumuskan haruslah tujuan yang diinginkan oleh klien
(b)     Terapis harus bersedia membantu klien dalam mencapai tujuan
(c)      Harus terdapat kemungkinan untuk menaksir sejauh mana klien bisa mencapai tujuannya
Pada umunya klien tidak menjabarkan masalah-masalah dalam bahsa yang sederhana dan jelas. Tugas terapis adalah mendengarkan kesulitan klien secara aktif dan empatik. Terapis memantulkan kembali apa yang dipahaminya untuk memastikan apakah persepsinya tentang pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan klien benar. Lebih dari itu, terapis membantu klien menjabarkan bagaimana dia akan bertindak di luar cara-cara yang ditempuh sebelumya. Dengan berfokus pada tingkah  laku yang spesifik yang ada pada kehidupan klien sekarang, terapis membantu klien menerjemahkan kebingungan yang dialaminya ke dalam suatu tujuan kongkret yang mungkin untuk dicapai.

Fungsi dan peran terapis
Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yakni terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah-masalah manusia, para kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam endiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarahkan kepada tingkah laku yang baru dan adjustive.
            Krasner (dalam Corey, 1995) mengajukan argumen bahwa peran seorang terapis, terlepas dari aliansi teoritisnya, sesungguhnya adalah “mesin perkuatan”. Apa pun yang dilakukannya, terapis pada dasarnya terlibat dalam pemberian perkuatan-perkuatan sosial, baik yang positif maupun negatif. Bahkan meskipun memprsepsikan dirinya sebagai pihak yang netral sehubungan dengan pertimbangan-pertimbangan nilai, terapis membentuk tingkah laku klien, baik melalui cara-cara langsung maupun melalui cara-cara tidak langsung. Tingkah laku klien tunduk pada manipulasi yang halus oleh tingkah laku terapis yang memperkuat. Peran terapis adalah memanipulasi dan mengendalikan psikoterapi dengan pengetahuan dan kecakapannya menggunakan teknik-teknik belajar dalam suatu situasi perkuatan sosial.
            Goodstein (dalam Corey, 1995) juga menyebutkan peran terapis sebagai pemberi perkuatan. Peran terapis adalah menunjang perkembangan tingkah laku yang secara sosial layak dengan secara sistematis memperkuat jenis tingkah laku klien semacam itu. Minat, perhatian, dan persetujuan (ataupun ketidakberminatan dan ketidaksetujuan) terapis adalah pemerkuat-pemerkuat yang hebat bagi tingkah laku klien. Pemerkuat-pemerkuat tersebut bersifat interpersonal dan melibatkan bahasa, baik verbal maupun nonverbal, serta acap kali tanpa disertai kesadaran yang penuh dari terapis. Peran mengendalikan tingkah laku klien dimainkan oleh terapis melalui perkuatan menjangkau situasi di luar konseling serta dimasukkan ke dalam tingkah laku klien dalam dunia nyata.
            Satu fungsi penting lainnya adalah peran terapis sebagai model bagi klien. Salah satu proses fundamental yang memungkinkan klien bisa mempelajari tingkah laku baru adalah imitasi atau pencontohan sosial yang disajikan oleh terapis. Terapis sebagai pribadi, menjadi model yang penting bagi klien. Karena klien sering memandang terapis sebagai orang yang patut diteladani, klien acap kali meniru sikap-sikap, nilai-nilai, keprcayaan-kepercayaan, dan tingkah laku terapis. Jadi, terapis harus menyadari peranan penting yang dimainkannya dalam proses identifikasi. Bagi terapis, tidak menyadari kekuatan yang dimilkinya dalam mempengaruhi dan membentuk cara berpikir dan bertindak kliennya, berarti mengabaikan arti penting kepribadiannya sendiri dalam proses terapi.

Sumber: Corey, Gerald. (1995). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: PT Eresco.

Sabtu, 13 April 2013

Terapi Rasional Emotif


Terapi rasional emotif (TRE) yang dikembangkan oleh Albert Ellis banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientasi kognitf-tingkah laku-tindakan dalam arti ia menitikberatkan berpikir , menilai, memutuskan, menganalisis, dan betindak.

Konsep utama

Pandangan tentang sifat manusia
TRE adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irrasional dan jahat. Manusia dilahirkan dengan kecenderrungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya; jika tidak segera mencapai apa yang dinginnkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain Ellis dalam Corey, 1995).
            TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara stimultan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan-perasan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik. Sebagaimana dinyatakan oleh Ellis (dalam Corey, 1995), ketika mereka beremosi, mereka juga berpikir dan beremosi. Ketika mereka berpikir, mereka juga beremosi dan bertindak. Untuk memperbaiki pola-pola yang disfungsional, seseorang idealnya harus menggunakan metode-metode perseptual-kognitif, emotif-evokatif, dan behavioristik redukatif.
Tentang sifat manusia, Ellis (dalam Corey, 1995) menyatakan bahwa baik pendekatan psikoanalitik Freudian maupun pendekatan eksistensial telah keliru dan bahwa metodologi-metodologi yang di bangun di atas kedua sistem psikoterapi tersebut tidak efektif dan tidak memadai. Menurut Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat individu sebagai unik dan memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan, untuk mengubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar yang telah diintroyeksikannya secara tidak kritis pada masa kanak-kanak, dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri.
TRE dan teori kepribadian
Rangkuman pandangan TRE tentang manusia adalah sebagai berikut:
Neurosis, yang didefinisikan sebagai “berpikir dan bertingkah laku irrasional”, adalah suatu keadaan alami yang pada taraf tertentu menimpa kita semua. Keadaan ini berakar dalam pada kenyataan bahwa kita adalah manusia dan hidup dengan manusia-manusia lain dalam masyarakat.
Psikopatologi pada mulanya dipelajari dan diperhebat oleh timbunan keyakinan-keyakinan irrasional yang berasal dari orang-orang yang berpengaruh selama masa kanak-kanak. Bagaimanapun, kita secara aktif membentuk keyakinan-keyakinan keliru dengan proses-proses otosugesti dan repitisi diri. Oleh karena itu, sikap-sikap yang disfungsional hidup dan bekerja di dalam diri kita lebih disebabkan oleh pengulangan pemikiran-pemikiran irrasional yang diterima pada masa dini yang dilakukan oleh kita sendiri ketimbang oleh pengulangan yang dilakukan oleh orang tua.
Emosi-emosi adalah produk pemikiran manusia. Jika kita berpikir buruk tentang sesuatu, maka kita pun akan merasakan sesuatu itu sebagai hal yang buruk. TRE menekankan bahwa menyalahkan adalah inti sebagian besar gangguan emosional. Oleh karena itu, jika kita ingin menyembuhkan orang yang neurotik atau psikotik, kita harus menghentikan penyalahan diri dan penyalahan terhadap orang lain yang ada pada orang tersebut. Orang perlu belajar untuk menerima dirinya sendiri dengan segala kekurangannya.
TRE menandaskan bahwa orang-orang tidak perlu diterima dan dicintai, bahkan meskipun hal itu diinginkannya. Terapis mengajari para klien bagaimana merasakan kesakitan, bahkan apabila para klien itu memang tidak diterima oleh orang-orang yang berarti, terapis TRE berusaha membantu mereka untuk mengatasi dari depresi, kesakitan, kehilangan rasa berharga, dan kebencian.
Teori A-B-C tentang kepribadian
Teori A-B-C tentang kepribadian sangatlah penting bagi teori dan praktek TRA. A adalah keberadaan suatu fakta, suatu peristiwa, tingkah laku atau sikap seseorang. C adalah konsekuensi atau reaksi emosional seseorang; reaksi ini bisa layak dan bisa pula tidak layak. A (peristiwa yang mengaktifkan) bukan penyebab timbulnya C (konsekuensi emosional). B yaitu keyakinan individu tantang A, yang menjadi penyebab C, yakni reaksi emosional. Misalnya, jika seseorang mengalami depresi sesudah perceraian, bukan perceraian itu sendiri yang menjadi penyebab timbulnya reaksi depresif, melainkan keyakinan orang itu tentang perceraian sebagai kegagalan, penolakan, atau kehilangan teman hidup. Keyakianan akan penolakan dan kegagalan (pada B) adalah yang menyebabkan depresi (pada C), jadi bukan peristiwa perceraian yang sebenarnya (pada A). Jadi manusia bertanggung jawab atas penciptaan reaksi-reaksi emosional dan gangguan-gangguannya sendiri.
Ellis (dalam Corey, 1995) menandaskan bahwa karena manusia memiliki kesanggupan untuk berpikir, maka manusia mampu melatih dirinya sendiri untuk mengubah atau menghapus keyakinan-keyakinan yang menyabotase diri sendiri.
TRE berasumsi bahwa karena keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai irrasional orang-orang berhubungan secara kausal dengan gangguan-gangguan emosional dan behavioralnya, maka cara yang paling efisien untuk membantu orang-orang itu dalam membuat perubahan-perubahan kepribadiannya adalah mengonfrontasikan mereka secara langsung dengan filsafat hidup mereka sendiri, menerangkan kepada mereka bagaimana gagasan-gagasan mereka sampai menjadikan mereka terganggu, menyerang gagasan-gagasan irrasional mereka di atas dasar-dasar logika dan karenanya mendorong mereka untuk mampu mengubah atau menghapus keyakinan-keyakinan irrasionalnya. Jadi, TRE mengonfrontasikan para klien dengan keyakinan-keyakinan irrasionalnya serta menyerang, menantang, mempertanyakan, dan membahas keyakinan-keyakian yang irrasional itu.
Setelah A-B-C  menyusul D. Pada dasarnya D adalah penerapan metode ilmiah untuk membantu para klien menantang keyakinan-keyakinannya yang irrasional yang telah mengakibatkan gangguan-gangguan emosi dan tingkah laku.

Tujuan-tujuan terapi
TRE diarahkan kepada satu tujuan utama: meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik. Menurut Ellis (dalam Corey, 1995) tujuan utama psikoterapis yang lebih baik adalah menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri mereka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosional yang dialami oleh mereka.
TRE tidak diarahkan semata-mata kepada penghapusan gejala (Ellis dalam Corey, 1995), tetapi untuk mendorong klien agar menguji secara kritis nilai-nilai dirinya yang paling dasar. Jika masalah yang dihadirkan oleh klien adalah ketakutan atas kegagalan perkawinan, dasar yang dituju oleh terapis bukan hanya pengurangan ketakutan yang spesifik itu, melainkan penanganan atas rasa takut gagal pada umumnya. Tujuan utama proses terapi adalah membantu klien untuk membebasskan dirinya sendiri dari gejala-gejala yang dilaporkan dan yang tidak dilaporkan kepada terapis.
Ringkasnya, proses terapi terdiri atas penyembuhan irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk rasional dan karena sumber ketidakbahagiaannya adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional. Proses terapi, karenanya, sebagian besar adalah proses belajar-mengajar.
           
Fungsi dan peran terapis
Aktivitas-aktivitas terapi utama TRE dilaksanakan dengan satu maksud utama: membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai penggantinya. Sasarannya adalah menjadikan klien menginternalisasi suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasi keyakianan-keyakinan dogmatis yang irrasioanl dan takhayul yang berasal dari orang tuanya maupun dari kebudayaannya.
            Langkah yang pertama yang dilakukan oleh terapis adalah menunjukkan kepada klien bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irrasionalnya, menunjukkan bagaimana klien mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikapnya, dan menunjukkan secara kognitif. Klien harus belajar memisahkan keyakinan-keyakinannya yang rasional dari keyakinan irrasionalnya.
Langkah yang kedua adalah membawa klien ke seberang tahap kesadaran dengan menunjukkan bahwa dia sekarang mempertahankan gangguan-gangguan emosional untuk tetap aktif dengan terus menerus berpikir secara tidak logis dan dengan mengulang-ulang kalimat-kalimat yang mengalahkan diri, dan yang mengekalkan pengaruh masa kanak-kanak. Klien bertanggung jawab atas masalah-masalahnya sendiri.
            Langkah terakhir dalam proses terapi adalah menantang klien untuk mengembangkan filsafat-filsafat hidup yang rasional sehingga dia bisa menghindari kemungkinan menjadi korban keyakinan-keyakinan yang irrasioanal. Mengajari klien bagaimana menggantikan keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap yang irrasional dengan yang rasional.
            TRE pada dasarnya adalah suatu proses terapi kognitif dan behavioral yang aktif-direktif., TRE sering meminimalkan hubungan yang intens antara terapis dan klien. TRE adalah suatu proses edukatif, dan tugas utama terapis adalah mengajari klien cara-cara memahami dan mengubah diri.

Sumber: Corey, Gerald. (1995). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: PT Eresco.